Seorang pemimpin yang efektif telah menguasai keterampilan untuk mengelola emosi dengan bijak di lingkungan kerja. Mereka mampu menunjukkan optimisme dan rasa percaya diri ketika anggota tim mengalami rintangan atau putus asa. Bahkan jika mereka meragukan arah strategis perusahaan, mereka tetap menjadi pengemban bendera perusahaan dan berusaha untuk memotivasi tim mereka.

Kemampuan para pemimpin dalam mengelola emosi, yang disebut “emotional labor,” sangat penting karena memengaruhi suasana hati tim dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin melakukan kerja emosional sebagaimana pekerja di lini depan, yang harus selalu bersikap ramah. Oleh karena itu, peran kerja emosional dalam kepemimpinan harus dihargai.

Mengelola emotional labor

Meskipun penting, perhatian terhadap emotional labor telah lama diabaikan oleh akademisi dan organisasi. Saat ini, dengan perubahan signifikan dalam dunia kerja, diperlukan peningkatan kinerja pemimpin dalam mengelola aspek ini.

Pemimpin diharapkan untuk memberikan perhatian khusus terhadap kesehatan mental dan fisik serta tingkat kelelahan karyawan, sambil juga menjalani manajemen diri mereka sendiri. Mereka harus menunjukkan kepekaan dan kasih sayang yang tulus kepada anggota tim mereka tanpa basa-basi, serta memberikan peluang untuk fleksibilitas dan kerja remote

Pemimpin harus menjaga keseimbangan antara tugas manajerial seperti mengelola laba, meningkatkan produktivitas dengan sumber daya yang terbatas, serta mengatasi tantangan dalam merekrut dan mempertahankan bakat berharga. Mereka juga perlu bersikap autentik, tetapi hati-hati agar tidak terlalu jujur tentang kesulitan pribadi mereka, menghindari “paradoks keaslian” yang dapat merusak kepercayaan pada kepemimpinan mereka.

Strategi untuk menangani emotional labor

Tanpa dukungan yang tepat, beban dari emotional labor dapat menyebabkan kerugian yang signifikan. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat meningkatkan risiko kelelahan dan masalah kesehatan bagi para pemimpin. Akibatnya, organisasi berisiko mengalami penurunan produktivitas, kinerja yang rendah, serta tingkat pergantian talenta kepemimpinan yang tinggi.

Untuk menghindari risiko ini, organisasi harus memberikan dukungan yang diperlukan kepada para pemimpin dalam mengelola pekerjaan emosional mereka. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil:

1. Mengakui emotional labor sebagai proses kerja

Para pemimpin seringkali cepat mengenali kelelahan mental dan fisik akibat beban kerja intens dan kurang tidur. Namun, mereka sering mengabaikan tekanan emosional yang menyertainya.

Untuk mengatasi tuntutan emosional ini, para pemimpin mungkin cenderung “berpura-pura” atau menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya. Namun, strategi ini dapat memiliki konsekuensi negatif yang signifikan, baik bagi pemimpin itu sendiri maupun bagi organisasi mereka. 

Menahan dan menyembunyikan emosi dapat menguras pengendalian diri, yang bisa mengakibatkan pemimpin bersikap agresif di tempat kerja, seperti meremehkan rekan kerja. Penekanan emosi berkelanjutan juga berdampak buruk pada kesehatan pemimpin, meningkatkan risiko nyeri tubuh, kelelahan, kesulitan tidur, dan kecanduan alkohol.

Sekolah bisnis dan program pengembangan kepemimpinan sering kali mengabaikan persiapan pemimpin dalam menghadapi tuntutan emosional yang melekat pada peran mereka. Akibatnya, banyak pemimpin tidak menyadari betapa kurang efektifnya dan dampak negatif dari penekanan emosi serta tindakan yang hanya dilakukan secara permukaan. Pengakuan menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam perjalanan menuju kinerja dan kesejahteraan yang lebih baik.

Organisasi perlu mengevaluasi budaya emosional mereka agar dapat mendukung pemimpin dalam mengatasi perbedaan antara perasaan dan komunikasi mereka. Penelitian baru menunjukkan bahwa memungkinkan karyawan untuk mengekspresikan emosi mereka di tempat kerja dapat memperkuat tim, memunculkan ide-ide kreatif, dan meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. 

Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menciptakan lingkungan yang mempromosikan kejujuran dan memberikan rasa aman psikologis kepada karyawan, sehingga mereka merasa nyaman berbagi kesulitan tanpa takut dianggap lemah atau rentan.

Baca juga: Mengelola Emosi Negatif dalam Tim dengan Bijak

2. Mempromosikan self-compassion dari tingkat atas ke bawah

Dalam menghadapi mitos yang luas yang mengatakan bahwa pemimpin harus selalu kuat, beberapa orang mungkin enggan untuk mengadopsi sikap welas asih. Banyak dari mereka, sayangnya, salah menghindari praktik ini karena khawatir bahwa itu bisa meredam rasa percaya diri mereka atau menghambat kesuksesan mereka.

Namun, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pemimpin yang mempraktikkan self-compassion sebenarnya memiliki kecerdasan emosional, ketahanan, dan integritas yang lebih tinggi. Dengan kata lain, mereka adalah pemimpin yang lebih baik, dan dampak positifnya pun merembes ke seluruh tim dan organisasi mereka. 

Ketika pemimpin mengasah welas asih terhadap diri mereka sendiri, mereka juga cenderung memperlakukan orang lain dengan lebih kasih sayang. Salah satu studi bahkan menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki welas asih terhadap diri sendiri cenderung memberikan lebih banyak dukungan dalam menangani masalah, baik yang berkaitan dengan pekerjaan maupun kehidupan pribadi. 

Sebagai konsekuensinya, para pemangku kepentingan cenderung melihat mereka sebagai individu yang lebih kompeten dan beradab. Yang lebih penting, pemimpin yang berani menunjukkan kerentanannya dan mengakui bahwa mereka tidak memiliki semua jawaban cenderung menciptakan lingkungan psikologis yang lebih aman, memungkinkan rekan-rekan mereka untuk merasa nyaman dalam berbagi ide dan perasaan mereka.

Organisasi dapat berperan dalam mendukung pemimpin mereka dengan memberikan pendidikan tentang manfaat sikap welas asih terhadap diri sendiri dan mendorong mereka untuk terus berlatih bersabar dan memahami diri ketika mereka menghadapi tantangan atau kesalahan. Ketika pemimpin memiliki keyakinan bahwa kelemahan adalah bagian alami dari kehidupan dan bahwa tidak ada yang sempurna, ini dapat membantu mereka untuk lebih terbuka tentang perasaan mereka, mengurangi kebutuhan untuk menyembunyikan emosi, dan menghindari penekanan emosi yang berlebihan.

Baca juga: Compassionate Self-Talk: Pengertian & 4 Praktik Efektif

3. Memberikan pelatihan untuk menangani emosi orang lain

Ketika karyawan berbagi penderitaan atau kebencian di tempat kerja, ini bisa menjadi masalah bagi pemimpin. Ketegangan dan frustrasi terhadap situasi kerja dapat dianggap sebagai serangan pribadi, menghasilkan reaksi defensif. 

Bahkan ketika tim mengeluarkan perasaan mereka di luar pekerjaan, pemimpin diharapkan untuk menunjukkan empati dan bisa merasa lelah karena itu. Lebih buruk lagi, pemimpin bisa “menyerap” kesusahan tim dan membawanya sepanjang hari, yang bisa mengakibatkan perlakuan kasar pada orang lain.

Para pemimpin dapat mengatasi kelelahan emosional dengan mempelajari keterampilan emosional, seperti melihat emosi sebagai informasi yang berharga. Dengan demikian, mereka dapat memimpin lebih efektif dan melindungi diri dari dampak negatif. Ini mirip dengan konsep “pelepasan belas kasih” yang digunakan oleh dokter untuk mengelola rasa sakit.

Organisasi dapat memberikan pelatihan keterampilan emosional kepada para pemimpin untuk mengurangi kelelahan emosional mereka. Pelatihan yang fokus pada kesadaran emosional, yaitu menerima pengalaman dan emosi tanpa penilaian atau penghindaran, membantu mengurangi tekanan manajer dan biaya yang mungkin timbul. Selain itu, pelatihan ini juga dapat meningkatkan empati dan perilaku kepemimpinan yang lebih berorientasi pada pelayanan.

4. Menyediakan kelompok dukungan

Seperti yang diungkapkan oleh pepatah dan hasil penelitian, berada di puncak seringkali sangat sepi. Kondisi ini muncul karena para pemimpin sering terpisah baik secara fisik maupun psikologis. 

Mereka merasa terisolasi karena memiliki akses terbatas pada informasi rahasia, menghadapi perbedaan kuasa yang signifikan, serta mengemban tanggung jawab besar dalam pengambilan keputusan. Sebuah manajer mengungkapkan dalam wawancara mengenai kesendirian pemimpin, “Anda merasa kesepian karena, pada akhirnya, tanggung jawab utama selalu ada di pundak Anda.”

Untuk mengatasi masalah isolasi dan kesendirian ini, organisasi dapat mengupayakan agar para pemimpin memiliki jaringan dukungan sejawat. Dalam jaringan ini, mereka dapat berbagi pengalaman dan beban yang mereka hadapi. Organisasi dapat menyediakan platform internal untuk tujuan ini atau mendukung keanggotaan pemimpin dalam kelompok sejawat eksternal seperti YPO atau Vistage. 

Sebagaimana yang telah diamati dalam lingkaran dan lokakarya pelatihan kepemimpinan, para pemimpin merasa sangat terbantu dengan menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan mereka. Persahabatan dan dukungan yang mereka temukan dalam komunitas ini membantu mereka menghadapi tantangan profesional dan pribadi, serta mendorong kesuksesan jangka panjang mereka.

Kesimpulan

Meskipun para pemimpin selalu menghadapi tuntutan emosional dalam pekerjaan mereka, tuntutan ini telah meningkat secara dramatis selama beberapa tahun terakhir. Sudah saatnya bagi organisasi untuk mengambil langkah konkret dan menghentikan pengabaian terhadap beban emosional yang signifikan ini. 

Dengan mengakui pentingnya pekerjaan emosional dan memberikan pendidikan, pelatihan, dan dukungan yang sesuai, organisasi dapat membantu pemimpin dalam mengatasi tugas-tugas penting namun sering diabaikan ini dengan lebih efektif.

Tim Insights Impact

Tim Insights Impact terdiri dari beragam individu profesional yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam berbagai aspek bisnis. Bersama-sama, kami berkomitmen untuk memberikan wawasan mendalam dan pemahaman yang berharga tentang berbagai topik terkait strategi bisnis dan tren industri yang relevan.

Blog
WhatsApp Us