Sebagai pakar lingkungan pekerjaan, Jennifer Moss telah mendalami penelitian tentang kelelahan (burnout) dan bekerja sama dengan berbagai organisasi selama bertahun-tahun untuk mengatasi masalah tersebut. 

Selema bertahun-tahun, Moss telah menggemakan peringatan: “Tingkat kelelahan semakin memburuk. Orang-orang dalam kondisi yang buruk!”. Namun, semua orang mengalami burnout secara langsung pada pandemi Covid-19.

Pada bulan April 2020, jumlah penduduk yang terkena lockdown mencapai 2,6 miliar orang, sementara 81% tenaga kerja global melihat tempat kerjanya ditutup sebagian atau seluruhnya. 

Mayoritas pekerja  terpaksa beralih untuk bekerja dari rumah — banyak di antaranya berkolaborasi melalui platform Zoom, yang melihat lonjakan pengguna aktif harian dari 10 juta menjadi 200 juta. 

Perubahan mendadak ini berhasil mengungkapkan dampak kelelahan dan keterkurasan yang selama ini tersembunyi – suatu kondisi yang sebenarnya telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, situasi ini juga memperparah tingkat kejenuhan yang kita alami secara signifikan. Ini merupakan burnout yang melampaui batas.

Baca juga: 3 Cara Mencegah Gejala Fisik Akibat Stres Pekerjaan

Seberapa buruk burnout?

Meskipun konsep burnout akibat kerja pertama kali muncul pada tahun 1970-an, komunitas medis telah lama berpendapat tentang cara yang tepat untuk mendefinisikannya. 

Pada tahun 2019, World Health Organization (WHO) akhirnya memasukkan kelelahan akibat kerja ke dalam International Classification of Diseases, dan menggambarkannya sebagai “sindrom yang timbul akibat dari paparan stres kronis di tempat kerja yang tidak dapat dikelola dengan baik.” 

Dengan menggunakan definisi ini, diakui bahwa kelelahan ini melebihi sekadar masalah individu karyawan; melainkan juga merupakan masalah organisasi yang memerlukan solusi yang bersifat organisasional.

Ketika Anda mengamati akar penyebab kelelahan, terlihat bahwa hampir semua orang menghadapi masalah ini dari perspektif yang kurang tepat. Menurut penelitian oleh Christina Maslach dari University of California, Berkeley, bersama dengan Susan E. Jackson dari Rutgers dan Michael Leiter dari Deakin University, terdapat enam penyebab utama dari burnout:

  1. Beban kerja yang tidak berkelanjutan
  2. Dirasakan kurangnya kontrol
  3. Imbalan yang tidak cukup untuk usaha
  4. Kurangnya komunitas yang mendukung
  5. Kurangnya keadilan
  6. Nilai dan keterampilan yang tidak cocok

Meskipun masalah-masalah organisasi terjadi, kami tetap menekankan pentingnya perawatan diri untuk mengatasi kelelahan. Kami telah mendorong karyawan untuk mengatasi masalah sendiri. 

Meskipun berbagai solusi seperti yoga, teknologi kesehatan, meditasi, dan subsidi gym disarankan, ini hanya untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk mencegah kelelahan dengan lebih efektif, diperlukan intervensi yang menangani akar permasalahan. 

Artikel ini akan menjelaskan taktik-taktik yang dapat digunakan perusahaan untuk mengatasi akar masalah kejenuhan organisasi.

Terdapat 6 penyebab umum burnout: beban kerja, kurangnya kontrol, imbalan tidak cukup untuk usaha, dukungan kurang dari komunitas, kurangnya keadilan, nilai keterampilan yang tidak cocok

Bagaimana burnout bisa seburuk ini?

Situasi yang kita alami saat ini, di mana kejenuhan begitu mendalam, sebenarnya telah dimulai sebelum pandemi Covid-19. Bahkan sebelum pandemi, banyak pekerja telah menghadapi tingkat kelelahan yang tinggi. Pandemi hanya seolah mempercepat masalah yang sudah ada sebelumnya.

Sebelum pandemi, para guru, perawat, dan dokter telah mengalami kelelahan ekstrem karena jam kerja yang panjang dan upah rendah. Perawat dan dokter sering bekerja dalam shift yang melelahkan, bahkan mencapai 16 jam atau lebih, dengan peningkatan kesalahan saat bekerja lebih dari 12,5 jam. 

Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam sektor kesehatan, tetapi juga dalam sektor teknologi, di mana kelebihan kerja dihargai meskipun riset menunjukkan bekerja lebih dari 55 jam tidak meningkatkan produktivitas. Elon Musk bahkan menyatakan bahwa perubahan dunia memerlukan sekitar 80 jam kerja per minggu. 

Selama pandemi, kami mengalami kesulitan untuk mengenali bahwa stres yang dirasakan sebenarnya bersifat kronis, bukan hanya akut. Analoginya, situasi ini lebih mirip dengan triathlon daripada lari cepat atau maraton.

Pada awal pandemi, banyak organisasi berharap pandemi ini akan segera berakhir. Pekerja yang melakukan remote work diberi tanggal kembali ke kantor selama satu bulan. Namun, satu bulan berlalu dan tanggal tersebut diperpanjang lagi. 

Pada bulan Mei, perusahaan teknologi besar seperti Facebook dan Google memutuskan untuk memperpanjang masa kerja dari rumah hingga akhir tahun (bahkan diperpanjang hingga tahun 2021). Sementara itu, individu-individu dibiarkan untuk mengatur pengaturan kerja jarak jauh mereka sendiri.

Baca juga: Meningkatnya Ketegangan dalam Remote Work

Peningkatan “kesejahteraan melalui video” terlihat saat pemimpin mencoba menggantikan interaksi langsung di tempat kerja dengan virtual. Aktivitas seperti Zoom happy hour dan sesi peregangan pagi secara virtual digunakan untuk memperkuat hubungan tim. 

Namun, minat terhadap acara-acara ini menurun setelah sebulan, membuat upaya kesejahteraan ini menjadi tugas tambahan bagi staf dan semangat positif dalam acara sosial online mulai meredup.

Pada awalnya, kita mungkin tak menyadari dampak sebenarnya pandemi dan banyak hal yang belum diketahui. Namun seiring waktu, kita menyadari bahwa pandemi ini berlangsung lama dan perlu menganalisis apa yang berhasil. Kita punya peluang beradaptasi untuk mengurangi kelelahan, tetapi sayangnya kita tidak melakukannya. Sebaliknya, kita memperburuk keadaan dalam aspek-aspek berikut ini:

Tidak ada penyesuaian beban kerja

Alasan kelelahan dan penurunan kesejahteraan yang sering kali disebutkan dalam penelitian kualitatif kami adalah akibat dari bekerja terlalu berlebihan. Riset Gallup menunjukkan risiko kelelahan kerja signifikan saat jam kerja rata-rata melebihi 50 jam/minggu, dengan peningkatan risiko yang lebih besar pada 60 jam. Masalah ini belum teratasi dan dapat diperparah oleh dampak pandemi.

Seorang responden survei baru-baru ini mengungkapkan bahwa tekanan untuk memproduksi terus menerus tanpa memperhatikan batasan waktu sangat kuat. Email pun dikirim dari pagi hingga malam, menciptakan situasi sulit terutama bagi individu lajang tanpa tanggungan keluarga.

Tak ada kontrol dan fleksibilitas

Pandemi menimbulkan tantangan baru bagi pekerja. Terbatasnya tempat penitipan anak karena penutupan sekolah dan pusat penitipan, serta pembatasan interaksi dengan keluarga. Dengan anak-anak belajar dan orang tua bekerja dari rumah, keluarga harus berbagi koneksi Wi-Fi dan menangani peningkatan pekerjaan rumah tangga akibat kehadiran semua anggota keluarga di rumah sepanjang waktu.

Meskipun beberapa organisasi melihat manfaat fleksibilitas bagi karyawan, banyak yang belum mengadopsinya. Pandangan ini mungkin berasal dari bias lama yang menganggap fleksibilitas sebagai “privilese ibu”. Pengalaman lockdown menguji pandangan ini dan menunjukkan bahwa kegagalan dalam sistem kebijakan kerja dan pandangan bias terhadap perempuan memiliki dampak serius. 

Laporan dari Center for American Progress menunjukkan bahwa jumlah wanita yang keluar dari angkatan kerja empat kali lebih tinggi daripada pria, dengan 865.000 wanita dibandingkan dengan 216.000 pria. Wanita dari kelompok kulit hitam, Latin, dan penduduk asli Amerika paling terdampak, menghadapi “beban ganda” termasuk risiko kehilangan pekerjaan, peran sebagai pekerja penting di garis depan, dan tanggung jawab merawat anak sendiri.

Seorang responden dalam survei menyatakan, “Tidak ada istirahat dari pekerjaan. Saya bekerja dari pagi hingga malam hari, hampir setiap hari. Suami saya bekerja di kantor, sedangkan saya harus bekerja dari meja dapur sambil mengasuh bayi di ruang tamu. Saya merasa tak punya waktu untuk fokus. Bahkan saat saya habiskan lima menit bersama putra saya, pesan instan tetap mengganggu. Jika saya mencoba bekerja sambil memperhatikan putra saya, saya terus berbalik untuk memeriksa kondisinya.”

Dampak dari gangguan ini terhadap partisipasi perempuan dalam dunia kerja sangatlah besar. Bahkan penurunan sebesar 5% dalam partisipasi tenaga kerja ibu dapat menyebabkan mundurnya posisi perempuan dalam lapangan kerja hingga 25 tahun ke belakang, seperti yang diungkapkan dalam laporan tersebut.

Meningkatnya meeting & screen time yang tidak sehat

Kelelahan Zoom dibahas seolah-olah fenomena baru, padahal ini hanya bentuk baru dari praktik kerja buruk yang sudah lama ada. Menurut Steven Rogelberg, penelitian sebelum pandemi Covid-19 mengungkapkan bahwa setiap hari terdapat sekitar 55 juta pertemuan di Amerika Serikat, dengan biaya organisasi mencapai $37 miliar per tahun karena banyak pertemuan yang tidak produktif.

Meskipun demikian, jumlah pertemuan mengalami peningkatan yang signifikan selama pandemi. Berdasarkan studi terbaru yang didukung oleh National Bureau of Economic Research yang menganalisis data dari lebih dari 3 juta orang, waktu yang dihabiskan oleh karyawan dalam pertemuan meningkat sebesar 13%. Akibatnya, rata-rata durasi hari kerja sekarang lebih panjang hingga 48 menit.

Panggilan video menimbulkan beban fisik dan mental yang signifikan. Otak kami sulit memproses isyarat nonverbal seperti ekspresi wajah dan bahasa tubuh, mengakibatkan kesulitan merasa rileks saat berbicara. Penelitian yang dikutip oleh Jena Lee dari UCLA mengungkapkan bahwa keterlambatan kecil dalam tanggapan verbal tanpa disadari dapat mengurangi kesan positif terhadap lawan bicara.

Dalam survei, seorang responden mengungkapkan bahwa mereka menghabiskan banyak waktu dalam posisi duduk, mengakibatkan bengkak pada pergelangan kaki dan kesulitan tidur nyenyak. Mereka juga merasa tidak punya waktu untuk menikmati aktivitas yang disukai, dan merasa seperti terus melompat dari satu rapat Webex atau Teams ke rapat berikutnya.

Tidak menyadari sejauh mana perjuangan seseorang

Burnout, jika mencapai tingkat ekstrem, dapat berakhir tragis. Hal ini ditekankan oleh Corey Feist, yang dengan jujur berbicara tentang masalah kelelahan pada para dokter.

Dr. Lorna Breen adalah direktur medis di departemen gawat darurat sebuah rumah sakit di Manhattan. Ia bekerja di garda terdepan, berada dalam gelombang pertama krisis Covid-19 di New York. Feist mengingat bagaimana Breen menggambarkan situasi rumah sakit tersebut sebagai “Armageddon”.

Feist menjelaskan bahwa kelelahan Dr. Lorna Breen dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Pertama, Breen tertular Covid-19 dan mengalami kelelahan fisik yang ekstrem, serta mungkin terkena dampak kabut otak yang mempengaruhi mereka yang terinfeksi virus. 

Selain itu, Breen juga terpaksa kembali bekerja dengan cepat meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya. Di tengah kondisi yang rapuh dan lelah, dia harus menghadapi jumlah kematian yang belum pernah dia alami sebelumnya. 

Rasa tidak mampu memberikan kontribusi dan merawat pasien juga sangat berat bagi seorang dokter, yang sebenarnya memiliki peran menyembuhkan. Semua ini telah mengguncangkan Breen secara emosional dan mental.

Tidak semua kasus memiliki tingkat kepedihan yang sama seperti kasus Breen, tetapi kisahnya mencerminkan kebenaran penting: Pandemi ini membawa tantangan besar dalam kesadaran dan pengakuan akan seberapa sulit situasinya. 

Upaya sementara seperti program yoga, teknologi kesehatan, dan aplikasi meditasi hanya seperti perban untuk luka dalam. Penting untuk menyadari bahwa banyak orang bekerja secara tidak berkelanjutan setiap hari, merasa enggan membicarakan kesehatan mental, dan menghadapi tekanan serta kelelahan yang besar. Sayangnya, tidak ada solusi instan untuk mengatasi masalah ini.

Bukan hanya para dokter yang merasakan kelelahan ini, sebagian besar pemimpin senior juga telah mengakui kelelahan mereka – kelelahan yang muncul ketika mereka memimpin orang-orang yang sendiri sudah merasa lelah. Pandemi global ini bukanlah masa “bisnis seperti biasa”, sehingga penting bagi kita untuk menghentikan sikap seakan-akan semua berjalan seperti biasa.

Baca juga: 5 Strategi Ampuh Mengatasi Stres Akibat Pekerjaan

5 langkah untuk melawan burnout

Terdapat beberapa langkah sederhana yang dapat kita lakukan untuk melawan burnout, terutama dalam konteks organisasi. Terdapat berita positif dalam hasil penelitian yang mengarahkan kita pada fokus yang tepat. Beberapa faktor yang dapat memprediksi tingkat burnout yang lebih rendah meliputi:

1. Memiliki sebuah tujuan

Para responden mengindikasikan bahwa perasaan ini membantu mengatasi kelelahan di tempat kerja. Skor kelelahan cenderung menurun seiring peningkatan skor tujuan kerja: 25% individu yang merasakan tujuan kuat dalam pekerjaan mereka tidak mengalami kelelahan dalam tiga bulan sebelumnya, seperti tercatat dalam laporan diri dan MBI-GS. 

Namun, data ini berlaku terutama untuk pekerja di ranah pengetahuan, sehingga disarankan untuk berhati-hati terhadap mengandalkan tujuan semata untuk mencegah kelelahan, terutama bagi karyawan garda terdepan.

2. Memiliki beban kerja yang dapat dikelola

Ini adalah salah satu prediktor paling kuat dari tingkat kelelahan yang lebih rendah. Organisasi perlu meningkatkan komunikasi mengenai prioritas kepada karyawan yang sedang terbebani, serta menjelaskan hal-hal yang dapat ditunda hingga ada waktu yang cukup (bahkan mungkin secara permanen).

Salah satu tantangan utama yang terkait dengan beban kerja adalah mengatasi kelelahan — hal ini menempati posisi puncak dalam daftar hal-hal yang harus ditangani oleh organisasi. Untuk memulai penanganannya, gunakan rumus sederhana berikut:

  1. Ajukan Pertanyaan: Apakah pertemuan ini diperlukan?
  1. Jika memang diperlukan, pertimbangkan hal berikut:
    • Apakah perlu dilakukan melalui panggilan video?
    • Durasi yang ideal, apakah lebih dari 30 menit?
    • Identifikasi peserta yang memiliki peran krusial.
    • Pertimbangkan penggunaan foto atau avatar sebagai gantinya jika kamera dimatikan.
    • Apakah memungkinkan untuk hanya menggunakan panggilan audio guna mengurangi kelelahan mata?
  1. Sisipkan sesi check-in pada awal rapat: Bagaimana suasana hati seluruh peserta? Adakah di antara mereka yang memiliki jadwal panggilan beruntun? Jika Anda yang memimpin rapat, tolong atur jadwal sedemikian rupa sehingga mereka yang memerlukan dapat bergabung lima hingga 10 menit lebih awal.

3. Membahas kesehatan mental di tempat kerja

Hasil survei mengindikasikan bahwa hampir setengah dari para responden merasa ragu untuk secara terbuka mengekspresikan diri, sementara 65% dari kelompok tersebut mengalami tingkat kelelahan “sering atau selalu.” Situasi ini merupakan permasalahan yang signifikan.

Langkah awal dalam mengatasi masalah ini adalah dengan mendorong terbentuknya budaya keamanan psikologis di lingkungan kerja. Amy Edmondson dari Harvard Business School, seorang ahli di bidang ini, mendefinisikan budaya tersebut sebagai “lingkungan di mana individu merasa nyaman untuk menjadi diri mereka sendiri dan mengungkapkan pemikiran mereka.”

Ketika seseorang membuat kesalahan, reaksi awal biasanya adalah kemarahan atau frustrasi. Namun, yang lebih penting adalah cara kita menanggapi situasi tersebut. 

Pendekatan yang lebih produktif, seperti yang disarankan oleh Edmondson, adalah dengan bertanya bagaimana kita bisa membantu individu tersebut pulih dan kembali ke jalur yang benar. Ini membuka peluang untuk komunikasi yang lebih terbuka, termasuk diskusi mengenai isu-isu pribadi seperti kesehatan mental.

Selain itu, taktik lain yang efektif adalah memberikan akses kepada karyawan terhadap dukungan kesehatan mental. Langkah ini dapat mencakup:

  1. Sumber Daya Kesehatan Mental: Halaman ini akan mencantumkan program lokal dan praktisi kesehatan mental sesuai dengan penyebab atau krisis.
  2. Dukungan Kesehatan Fleksibel: Ada izin terkait pengurangan jam kerja, jam fleksibel, dan cuti berbayar untuk masalah kesehatan mental/fisik atau merawat yang terdampak krisis.
  3. Program Pendukung Rekan: Pemimpin akan dilatih dalam Kesehatan Mental 101 untuk mendukung staf dalam krisis.
  4. Pemantauan Aktif oleh Manajer: Manajer akan secara rutin memeriksa kesejahteraan tim, dengan rencana komunikasi sebelum bencana dan interaksi lebih perhatian.

4. Memiliki manajer berempati

Kebutuhan kedua yang paling umum disebutkan dalam survei adalah berkomunikasi dengan empati. Ini hampir sejajar dengan beban kerja yang dapat dikelola. Menurut Helen Riess dari Harvard Medical School, komunikasi empati terbukti meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi burnout, dan berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan. Keterampilan ini penting terutama dalam krisis dan dapat ditingkatkan.

Kepemimpinan berempati memiliki tiga aspek: mengenali serta mengatasi bias pribadi dan hak istimewa, mendengarkan aktif kepada anggota tim, dan mengambil tindakan nyata. 

Mendengarkan aktif, sebagai elemen penting, melibatkan memberikan ruang aman bagi pandangan orang lain dan menunjukkan pengambilan tindakan berdasarkan informasi yang diberikan. Ini bisa dilakukan secara individual atau melalui forum terbuka seperti Slack atau Teams. Umpan balik anonim juga bisa diadopsi dengan alat survei yang mudah digunakan.

Cara unik mengatasi burnout adalah dengan menjadi “penyadap profesional” seperti yang diusulkan oleh Martha Bird, antropolog bisnis di ADP. Hal ini dikarenakan tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan sehari-hari dapat menggambarkan kesejahteraan secara keseluruhan. 

Bird menekankan bahwa dari kekacauan dan tindakan-tindakan kecil itulah kita dapat memahami lebih dalam. Manusia cenderung memberikan makna pada kekacauan ini, dan makna tersebut tercermin dalam tindakan-tindakan yang dilakukan.

Bird menyarankan untuk melihat lebih dalam daripada sekadar bertanya “Bagaimana kabarmu?” saja. Penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa rata-rata mengucapkan kalimat “Saya baik-baik saja” sebanyak 14 kali dalam seminggu, tetapi hanya 19% di antaranya yang mengungkapkan perasaan dengan jujur

Hampir sepertiga dari 2.000 responden dalam survei mengakui seringkali menyembunyikan perasaan mereka. Dengan lebih teliti memperhatikan komunikasi tim Anda dan mengenali pola-pola khusus, Anda dapat mengidentifikasi serta mencegah potensi masalah. 

Ketika seseorang mengatakan bahwa mereka baik-baik saja, luangkan waktu untuk menanyakan lebih dalam dengan pertanyaan seperti “Apakah kamu benar-benar baik-baik saja?” Jika diperlukan, jangan ragu untuk menawarkan diri sebagai pendengar jika mereka ingin berbicara lebih lanjut.

5. Memiliki hubungan erat dengan keluarga dan rekan

Survei menyoroti sejauh mana rasa terisolasi dirasakan oleh banyak orang. Sebelum kerja berubah menjadi format virtual, salah satu manfaat kerja yang sangat berharga adalah kemampuannya untuk membantu kita membangun dan menjalin persahabatan. Namun, melakukan hal ini dari jarak jauh menjadi jauh lebih rumit, bahkan sulit.

Seorang responden survei baru-baru ini mengungkapkan kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan rekan kerja baru selama pandemi. Meskipun pernah ke kantor, interaksi tatap muka hanya sekitar 10 jam, sementara interaksi melalui rapat Zoom mencapai 40-60 jam. Menurutnya, hal ini tidak memadai untuk membangun hubungan yang bermakna dan saling percaya.

Beberapa perusahaan terlalu cepat menerapkan kebijakan “kerja dari rumah” permanen. Hasil survei JLL dengan lebih dari 2.000 karyawan dari 10 negara menunjukkan hampir 75% ingin akses ke kantor, dan 80% karyawan berkinerja tinggi merindukan kehadiran fisik kantor saat lockdown.

Pilihan fleksibilitas dalam tempat kerja telah lama menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Setelah situasi aman, kita perlu mencari solusi hybrid yang memungkinkan rekan-rekan kerja untuk berinteraksi dan berkolaborasi baik secara langsung maupun virtual.

CEO Zillow, Rich Barton, memungkinkan karyawan bekerja dari rumah atau kantor. Dia mengakui perubahan pandangannya setelah timnya mengalami langsung, dan kini ia berkomitmen untuk memberikan keputusan kepada tim agar mereka dapat tumbuh dan berproduktivitas di lingkungan yang mereka pilih.

Hubungan kuat terbentuk saat melihat wajah langsung. Jarak sosial selama setahun terakhir berdampak besar. Saat pandemi mereda, pemimpin harus menggabungkan tim secara fisik agar terhubung dalam kehidupan sehari-hari.

Buat persiapan sebelum krisis berikutnya

Tentu saja, semua ini hanyalah langkah awal tentang bagaimana sebuah perusahaan bisa mengatasi burnout. Namun, yang ingin ditekankan adalah: Para pemimpin harus segera mendirikan sistem yang tepat, sebelum krisis berikutnya datang.

Perusahaan dengan strategi pencegahan burnout unggul dalam menghadapi krisis Covid-19. Semangat dukungan pemimpin terhadap kesejahteraan tim kerja sangat mengesankan dan menjadi contoh yang mencolok.

Pada Oktober 2020, Alan May adalah wakil presiden eksekutif dan chief people officer di Hewlett-Packard Enterprise (HPE), yang memiliki hampir 60.000 karyawan yang bekerja dari jarak jauh. Dia percaya komitmen jangka panjang HPE terhadap kesejahteraan telah membantu mengatasi tantangan tersebut. 

May mencatat bahwa krisis cenderung mempercepat tren-tren mendasar. Program kesehatan yang dia buat bukan hanya respons terhadap Covid-19; perusahaan sudah menjalankan kampanye internal selama dua tahun yang berfokus pada hal ini sebelum pandemi.

May membentuk kelompok obrolan sosial virtual untuk komunikasi sesama pemimpin dengan tujuan menghubungkan individu yang sejalan pandangan tanpa agenda pasti. May berpartisipasi dengan mendengarkan, dan saat krisis tiba, karyawan mulai berbagi tip dan alat khusus untuk bekerja dari rumah atau mengatasi kesepian. Semua ini mendorong pelaksanaan ide-ide cemerlang.

Untuk menciptakan pengalaman kerja yang luar biasa, organisasi perlu fokus pada kesejahteraan. Terapkan protokol kesehatan mental dan pencegahan kelelahan. Siapkan strategi komunikasi sebelumnya agar dalam situasi krisis, informasi tentang dukungan dan langkah-langkah kesehatan dapat disampaikan cepat kepada karyawan. 

Komunikasi yang kurang efektif selama krisis Covid telah disoroti sebagai penyesalan utama oleh pemimpin tingkat C. Sebagian besar karyawan juga menginginkan komunikasi lebih banyak, cepat, dan transparan.

Kesimpulan

Tidak ada solusi instan untuk mengatasi masalah kelelahan yang tengah kami hadapi; terkadang, tantangan ini bahkan terasa menghambat. Perlu dimulai dari langkah-langkah kecil agar tugas-tugas tersebut tidak terasa terlalu berat. Transformasi besar dimulai dari tindakan praktis yang sederhana, membawa kita menuju perubahan secara kolektif.

Krisis ini tidak boleh disia-siakan. Ungkapan lama yang mengatakan “Mengetahui adalah separuh dari pertempuran” sangat relevan dalam konteks ini. Dengan mengenali gejala-gejala stres dalam organisasi – karena akhirnya kita telah mulai memperhatikannya – terbuka peluang bagi masa depan yang lebih baik.

Para pemimpin, kita telah melewati ujian sulit yang tak dapat dihindari. Pengalaman menghadapi tantangan ini tidak bisa dianggap sebagai pelajaran yang instan; sebaliknya, ini adalah peluang berharga untuk belajar. Kita punya kesempatan nyata untuk mencegah kejenuhan dan tidak boleh berdalih bahwa itu terlalu rumit atau memerlukan perubahan berlebihan. 

Saat yang paling tepat untuk bertindak adalah ketika situasinya penuh dengan tantangan. Inilah waktunya untuk mengubah perubahan yang tidak bisa dihindari menjadi perubahan yang selalu mungkin dicapai.

Tim Insights Impact

Tim Insights Impact terdiri dari beragam individu profesional yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam berbagai aspek bisnis. Bersama-sama, kami berkomitmen untuk memberikan wawasan mendalam dan pemahaman yang berharga tentang berbagai topik terkait strategi bisnis dan tren industri yang relevan.

Blog
WhatsApp Us